Ahli dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia terhadap KUHAP, RUU-KUHAP & UU No 2 Th 2017 Jasa Konstuksi
Dr. Ir. M. Rochman, S.T., S.H., M.H., Akademisi Universitas Hazairin Bengkulu.--(Sumber Fot: Tim/Betv)
BETVNEWS - Sebelum diberlakukannya KUHAP, sistem hukum acara pidana di Indonesia masih mengacu pada peraturan kolonial Belanda, yaitu Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).
Peraturan ini diterapkan secara dualistik, dengan HIR berlaku di Jawa dan Madura, sedangkan RBg berlaku di luar wilayah tersebut. Sistem ini dianggap tidak sesuai dengan semangat kemerdekaan dan kebutuhan hukum nasional Indonesia. Menurut Yuspin dan Ajlin (2022), keberlanjutan penggunaan hukum kolonial ini disebabkan oleh belum adanya sistem hukum pidana nasional yang komprehensif pasca kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan dalam membentuk sistem hukum pidana nasional yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan kebutuhan masyarakat. Proses perumusan KUHAP dimulai dengan pembentukan tim perumus yang terdiri dari para ahli hukum dan praktisi. Mereka bertugas menyusun rancangan undang-undang yang dapat menggantikan sistem hukum kolonial. Proses ini memakan waktu yang cukup lama karena harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk perlindungan hak asasi manusia dan efisiensi sistem peradilan pidana.
Setelah melalui proses panjang, KUHAP resmi diberlakukan pada tahun 1981 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. KUHAP dirancang untuk menggantikan HIR dan RBg, dengan tujuan utama memperkuat perlindungan hak asasi manusia dan memperkenalkan sistem peradilan pidana yang lebih modern dan adil. KUHAP mengadopsi beberapa prinsip dari sistem hukum adversarial, seperti hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum sejak tahap penyidikan dan keharusan adanya minimal dua alat bukti yang sah untuk menjatuhkan pidana. Namun, dalam praktiknya, implementasi KUHAP masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk penyalahgunaan kewenangan penahanan dan kurangnya sanksi terhadap pelanggaran prosedur oleh aparat penegak hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pertama kali diundangkan pada tahun 1981 dan merupakan produk hukum yang bertujuan untuk menyusun tata cara pelaksanaan hukum pidana di Indonesia. Sejak pengundangannya, KUHAP telah mengalami sejumlah perubahan dan pembaharuan yang mencerminkan dinamika sosial dan perkembangan teori hukum yang berlaku. Proses sejarah pengesahan dan penerapan KUHAP tidak bisa dipisahkan dari perubahan sistem hukum di Indonesia, terutama pasca Kemerdekaan yang mengadopsi sistem hukum warisan Belanda, namun dengan penyesuaian terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia (Sutedi, 2014).
Salah satu terobosan mendasar KUHAP adalah pengakuan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam Pasal 8 ayat (1), yang menegaskan bahwa “setiap orang dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Effendy (2013) menilai bahwa ketentuan ini sejalan dengan prinsip fair trial dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia pada 2005. Rahayu (2010) menambahkan bahwa keberadaan asas ini memaksa aparat penegak hukum untuk mendasarkan setiap tindakan pada bukti sahih, sehingga berpotensi meminimalisir tindakan sewenang-wenang selama tahap penyidikan (Effendy 2013; Rahayu 2010).
Secara filosofis, KUHAP lahir dari upaya pembaruan sistem hukum acara pidana Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum. Dalam konteks ini, KUHAP tidak hanya dipahami sebagai aturan prosedural, tetapi sebagai manifestasi dari filsafat hukum nasional yang ingin melepaskan diri dari kolonialisme hukum (Marbun, 2015). KUHAP merupakan perwujudan dari asas legalitas, praduga tak bersalah, dan peradilan yang adil (due process of law), yang menjadi pilar utama negara hukum.
Secara struktural, KUHAP menerapkan teori sistem hukum terpadu (legal system theory) dengan membagi proses pidana ke dalam fase-fase berjenjang—penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan eksekusi—yang saling terkait namun memiliki kekhasan tugas dan fungsi (Arief 2005). Pembagian ini sejalan dengan konsep separation of powers dalam sistem peradilan pidana yang menempatkan hakim sebagai penjaga independensi dan fairness dalam pemeriksaan perkara.
RUU KUHAP pasal 42 a berbunyi “pengetahuan dalam bidang tertentu yang dibuktikan dengan ijazah akademik atau sertifikat tertentu; dan/atau”. O’Brien (2016) menekankan bahwa pengakuan formal atas keahlian melalui ijazah atau sertifikat memfasilitasi kepastian administratif dan substantif dalam praktik pengadilan. Ia menjelaskan bahwa dasar ilmiah bagi validasi kredensial formal membantu menjembatani kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan aplikasi hukum, sehingga memudahkan hakim dalam menilai bukti ahli secara sistematis dan konsisten.
Peran ahli dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sangat penting untuk menjamin obyektivitas dan akurasi dalam proses pembuktian, terutama dalam perkara yang memerlukan keahlian teknis atau ilmiah. Namun, KUHAP hanya menyebut “keterangan ahli” secara umum tanpa merinci peran teknis seperti merancang, mengawasi, atau mengevaluasi perkara; RUU-KUHAP mulai menambahkan klausul sertifikat dan pengalaman, tetapi masih belum jelas sejauh mana ahli boleh terlibat di luar memberikan opini; sedangkan UU Jasa Konstruksi lebih tegas mengatur tugas penilai ahli, namun tidak terintegrasi dalam praktik pidana sehingga menimbulkan multitafsir terhadap kewenangan ahli.
KUHAP tidak mensyaratkan sertifikat formal, memungkinkan ahli tak bersertifikat dipakai, sementara RUU-KUHAP membatasi hanya pada yang memiliki ijazah/sertifikat mengecualikan “expert by experience”; UU Jasa Konstruksi mensyaratkan Sertifikat Kompetensi Kerja dan pendaftaran resmi, tetapi belum ada mekanisme pengakuan keahlian non-formal dalam ranah pidana.
Tiga instrumen hukum tersebut berjalan sendiri-sendiri: KUHAP untuk hukum acara umum, RUU-KUHAP sebagai revisi parsial, dan UU Jasa Konstruksi untuk kualifikasi ahli konstruksi. Tanpa payung sinkron, penunjukan dan penilaian ahli di pengadilan pidana sering terhambat oleh perbedaan persyaratan dan prosedur.
Belum ada ketentuan perlindungan atau sanksi bagi ahli yang terlibat dalam proses pidana, baik jika keterangan mereka dipersoalkan maupun jika mereka dipanggil tanpa prosedur jelas. Akibatnya, kredibilitas opini ahli dan kepastian hukum bagi pemberi keterangan kurang terjamin.
Rekomendasi penyempurnaan penyempuranaan terkait pembahasan ialah : 1) Harmonisasi norma: menyusun pedoman tunggal mengenai kriteria, mekanisme penunjukan, dan perlindungan ahli yang berlaku untuk semua jenis perkara pidana. 2) Pengaturan dual-credentialing: mengakui sertifikat formal sekaligus pengalaman praktik (portofolio, rekomendasi profesi) agar keahlian non-formal tetap terukur. 3) Pembentukan lembaga akreditasi independen dan registri nasional ahli: untuk verifikasi berkelanjutan, re-sertifikasi berkala, serta penegakan kode etik. 4) Penambahan klausul perlindungan hukum: menetapkan hak imunitas terbatas bagi ahli, serta sanksi bagi penyalahgunaan keterangan atau pemalsuan kredensial.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

