Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dari Perspektif:

Senin 10-05-2021,06:25 WIB
Oleh: beken1

Oleh: Kki Ramadani (Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syariah/Hukum IAIN Bengkulu) BETVNEWS,- Kegiatan pertambangan merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh manusia di dalam mengolah sumber daya alam (SDA) meliputi air, udara, tanah dan kekayaan alam lainnya. Yang mana mengenai kekayaan alam ini di atur pula di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) segala kekayaan alam dikuasai oleh nagara yang dapat dipergunakan untuk kemakmuran rakyat yang seluas-luasnya. Dalam pasal ini menyebutkan bahwa segala sesuatu yang terdapat didalamnya “dikuasai oleh negara” yang mana dalam kalimat tersebut menunjukkan konsep hak penguasaan negara yang diamanatkan di dalam konstitusi. Didalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga dijelaskan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Setelah disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, peraturan perundang-undangan tersebut mengalami banyak pembaharuan salah satunya mengenai persoalan kewenangan dimana pada peraturan perundang-undangan yang baru ini kewenangan penuh terkait pertambangan mineral dan batubara hanya dimiliki oleh pemerintah pusat seperti yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Melihat perbandingan atau perubahan peraturan perundang-undangan tersebut lebih baik jika kewenangan tidak hanya dimiliki oleh pemerintah pusat tetapi kewenangan terkait pengelolaan pertambangan mineral dan batubara juga dikembalikan kepada pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, dikarenakan pemerintah daerah lebih berhak dan lebih mengetahui keadaan wilayah mereka masing-masing sesuai dengan asas otonomi dimana otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia. Terkait permasalahan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara baik itu penetapan izin usaha pertambangan atau bahkan wilayah izin usaha pertambangan apabila ada permasalahan ataupun pembenahan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan dengan cepat dan efisien. Sedangkan ketika hanya pemerintah pusat yang memiliki kewenangan maka pemerintah daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota harus saling berkoordinasi dulu dengan pemerintah pusat sehingga dinilai cukup lama dan tidak efisien dalam penanggulangan permasalahan yang kemungkinan ada kedepannya. Perkembangan kegiatan petambangan yang terjadi di Indonesia memberikan dampak yang sangat besar terhadap kegiatan pertambangan. Dengan adanya kewenangan terhadap kegiatan pertambangan memiliki tujuan agar pengelolaan kegiatan pertambangan tidak terpusat dan dapat meningkatkan perekonomia dan meningkatkan PAD. Dengan semakin kuatnya perekonomian nasional serta meningkatnya kemampuan sumber daya manusia untuk mengembangkan kegiatan usaha pertambangan maka tuntutan terhadap sebuah perubahan kebijakan pengaturan kegiatan pertambangan telah menjadi agenda utama selama proses reformasi di bidang Konsep perizinan pertambangan yang ada saat ini mampu menggantikan rejim kontrak yang diharapkan dapat memberikan dampak positif yang lebih baik bagi pemerintah yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam UU Minerba kewenangan pemerintah provinsi di atur dalam Pasal 7 ayat (1), sedangkan kewenangan dari pemerintah kabupaten/kota di atur dalam Pasal 8 ayat (1). Upaya pembenahan sistem perizinan pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 diwujudkan dalam bentuk pengalihan penerbitan izin pertambangan kepada pemerintah pusat. Hal ini merupakan implikasi dari perubahan paradigma penguasaan pertambangan minerba dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 yang tidak lagi melibatkan pemerintah daerah sehingga menghapus ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan kegiatan pertambangan minerba. Pengalihan kewenangan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kalangan masyarakat yang menilai bahwa hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi dan semangat reformasi serta memperbesar peluang terjadinya oligarki politik dan bisnis yang berkenaan dengan izin investasi,  sehingga dianggap hanya memihak pada kepentingan para pengusaha tambang. Penolakan atas hadirnya UU Nomor 3 Tahun 2020 dibuktikan dengan adanya uji materil yang dilakukan oleh sejumlah pihak dari berbagai lapisan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi. Pengalihan kewenangan penerbitan izin pertambangan kepada pemerintah pusat dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang termaktub dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jika dicermati, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang termaktub dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 memiliki nafas yang sama dengan prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam yang mencakup prinsip keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan lingkungan. Pada praktiknya, dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah selalu ditemukan konflik tarik menarik kepentingan serta upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk memegang kekuasaan atas seluruh urusan pemerintahan. (Rel)

Tags :
Kategori :

Terkait