Fenomena Groupthink di Kelompok Parlemen Indonesia: Dampak dan Cara Mengatasi

Fenomena Groupthink di Kelompok Parlemen Indonesia: Dampak dan Cara Mengatasi

Ilustrasi. Fenomena Groupthink di Kelompok Parlemen Indonesia.--(Sumber Foto: Lira)

BENGKULU, BETVNEWS - Dalam dunia politik, proses pengambilan keputusan kelompok dianggap sebagai salah satu fondasi utama dalam pembentukan kebijakan negara. 

Namun di balik keputusan-keputusan yang dihasilkan, terkadang muncul fenomena groupthink yang bisa menghambat kualitas keputusan. Fenomena ini terjadi saat sebuah kelompok cenderung mencapai konsensus tanpa melakukan evaluasi kritis atau mempertimbangkan alternatif yang ada.

Kasus groupthink seringkali terjadi di berbagai lembaga politik di seluruh dunia, termasuk di parlemen Indonesia. Dalam beberapa kasus, anggota parlemen mungkin terjebak dalam pola pikir kelompok yang sempit, yang mengarah pada pengambilan keputusan yang tidak optimal atau bahkan merugikan.

BACA JUGA:Potensi Groupthink dalam Pengambilan Keputusan Kelompok Politik di Parlemen Indonesia

Salah satu contoh kasus yang mencolok adalah ketika anggota parlemen menyetujui sebuah kebijakan atau RUU tanpa melakukan analisis yang mendalam atau mempertimbangkan sudut pandang yang beragam.

Dampak dari groupthink dapat sangat merugikan, terutama bagi masyarakat dan negara. Keputusan politik yang diambil tanpa pertimbangan yang matang dapat mengakibatkan kebijakan yang tidak efektif, tidak adil, atau bahkan bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas. 

Selain itu, groupthink juga dapat membatasi inovasi dan pembaharuan dalam politik, karena ide-ide yang kontroversial atau berbeda seringkali ditolak atau diabaikan.

BACA JUGA:Pakar Politik Sebut Buzzer Belum Punya Pengaruh Besar dalam Pilkada Bengkulu 2024

Untuk mengatasi kasus groupthink di parlemen Indonesia, langkah-langkah konkret perlu diambil. Pertama-tama, penting bagi para anggota parlemen untuk meningkatkan kesadaran mereka akan potensi groupthink dan dampaknya yang merugikan. Mereka juga perlu mendorong budaya dialog terbuka, di mana beragam pandangan dan pendapat didengar dan dipertimbangkan dengan serius.

Selain itu, perlu ada insentif yang memotivasi anggota parlemen untuk berani menyuarakan pendapat yang berbeda dan mempertanyakan konsensus kelompok jika diperlukan. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan mekanisme evaluasi yang transparan dan akuntabel, serta pemberian penghargaan atau pengakuan bagi mereka yang berani berpikir di luar kotak.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan parlemen Indonesia dapat menjadi lembaga yang lebih responsif, inklusif, dan efektif dalam pengambilan keputusan politik. Ini adalah langkah penting menuju pembangunan politik yang lebih dinamis dan adaptif terhadap perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. (*)

Artikel opini ini ditulis oleh Lira Karunia D1C021027, mahasiswa S1 Jurnalistik Universitas Bengkulu.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: