Hari Tani Bukan Sekadar Seremonial, Saatnya Suara Petani Didengar
Opini Ilmiah Hari Tani Nasional 2025 oleh Azim Ramahan, Gubernur Mahasiswa Fakultas Pertanian UNIB 2025--(Sumber Foto: Azim/Mahasiswa)
BENGKULU, BETVNEWS - Hari Tani yang jatuh setiap 24 September tidak semestinya dipandang sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum refleksi bagi seluruh bangsa. Pada Hari ini, kita diingatkan bahwa tanpa petani, kedaulatan pangan hanya akan menjadi jargon kosong. petani bukan hanya profesi, melainkan penyangga kehidupan, penyeimbang tatanan negara, sekaligus tulang punggung bangsa. Denyut nadi mereka adalah denyut nadi Indonesia. Jika petani melemah, rapuhlah sendi-sendi kehidupan negeri ini.
BACA JUGA:Daftar Peserta Lolos Administrasi Lelang Jabatan Eselon II Pemprov Bengkulu, Ada Eks Pejabat Nonjob
Namun, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Petani masih bergulat dengan harga panen yang tidak menentu, biaya produksi yang tinggi, serta akses pasar yang sering kali tidak berpihak kepada mereka. Ironisnya, di negeri yang dikenal agraris, banyak petani justru berjuang sekadar untuk bertahan hidup. Persoalan kesejahteraan petani bukan hanya menyangkut kebutuhan perut mereka semata, melainkan juga ketahanan pangan bangsa secara keseluruhan. Sebab, tanpa petani, bangsa ini kehilangan sumber kehidupan paling mendasar yakni pangan.
BACA JUGA:Masih Kasus Korupsi Tambang Batu Bara, Kejati Sita SPBU Milik Anak Bebby Hussy
BACA JUGA:1.433 Kasus Suspek DBD di Bengkulu, Rejang Lebong Tertinggi
Di balik hamparan sawah hijau dan panen melimpah, derita petani justru tersembunyi. Harga hasil panen yang dikendalikan korporasi, pupuk yang dijadikan permainan politik, hingga tanah subur yang dirampas atas nama investasi, menjadi bukti bahwa tangan-tangan yang memberi makan bangsa dibiarkan menderita. Derita petani adalah derita kita semua. Namun, getir itu hanya benar-benar dirasakan sebagian kecil masyarakat, sementara pemerintah kerap tidak merasakannya.
BACA JUGA:Setelah 4 Hari, Korban Kapal Karam Ditemukan di Perairan Pulau Tikus
BACA JUGA:Tes Kompetensi dan Evaluasi Rampung, BKPSDM Bengkulu Selatan Segera Gelar Lelang Jabatan Eselon II
Hari Tani karenanya tidak boleh lagi berhenti pada seremoni yang penuh retorika. Jeritan yang masih terdengar dari desa-desa, diskriminasi dan ketidakadilan dalam pengelolaan tanah, hingga kriminalisasi dan penahanan petani, adalah bukti bahwa kesejahteraan yang dijanjikan belum berpihak kepada mereka. Keuntungan dari tanah rakyat sering kali tidak sepadan dengan penderitaan yang mereka alami.
Konflik agraria di Bengkulu menjadi contoh nyata. Hampir seluruh wilayah, dari Kaur hingga Mukomuko, tidak lepas dari persoalan ini. Para petani kehilangan pijakan di tanah mereka sendiri. Kasus perluasan lahan perusahaan di Pino Raya yang berujung pada penahanan warga, menegaskan bahwa lahan rakyat yang seharusnya menjadi sumber penghidupan kini justru dilahap kerakusan korporasi.
BACA JUGA:28 Pejabat Eselon II Bengkulu Selatan Ikuti Uji Kompetensi dan Evaluasi JPT
BACA JUGA:BPS Bengkulu Gelar Talkshow IST 2025, Dorong Pegawai Jadi Teladan
Sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, saya melihat Hari Tani bukan hanya peringatan jasa petani, tetapi ruang refleksi kritis. Mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal isu-isu rakyat, terutama petani sebagai ujung tombak ketahanan pangan bangsa. Ketidakadilan struktural yang mereka alami—dari konflik agraria, harga panen yang tidak stabil, hingga akses pupuk yang sulit—bukan sekadar persoalan pertanian, melainkan cermin lemahnya keberpihakan negara terhadap rakyat kecil.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


