Risalatul Aminin menambahkan, gagasan Gus Dur tentang pesantren lebih pada penyederhanaan kurikulum. Hal ini bukan bermaksud mendangkalkan ilmu agama, kajian lebih mendalam bisa masuk pengajian agama nonkurikuler.
BACA JUGA:Kisah Abu Nawas Mengajari Lembu Mengaji
Bagi Gus Dur, pada tahun pertama hingga ketiga, pesantren perlu memberikan waktu cukup banyak pada ranah Nahwu-Sharaf karena fondasi memahami ajaran agama yang mayoritas dari teks Arab.
Mata pelajaran lain yang tak kalah penting yaitu fiqih dan tauhid, karena digunakan untuk ibadah.
BACA JUGA:Kisah Hamba Saleh, Kalah dari Godaan Setan yang Menjelma Kakek Tua
Tahun keempat dan kelima pelajaran mulai masuk ke Mantik, Balaghah, Ushul Fiqih dan Hadits. Namun, pelajaran fiqih dan tauhid dengan kitab lebih luas tetap diajarkan. Di tahun terakhir materi Hadits dan Tasawuf.
Madrasah Muallimin memiliki keunikan lainnya, siswa kelas 3 bisa ikut ujian negara tingkat Tsanawiyah dan siswa kelas 6 bisa ikut ujian negara tingkat Aliyah.
Meskipun begitu, Madrasah Muallimin juga mengeluarkan ijazah muadalah. Sehingga setiap santri jika lulus ujian memiliki dua ijazah sekaligus.
KH Anshori Soihah merupakan rujukan utama ketika berkaitan dengan era Gus Dur mengajar di Madrasah Muallimin Tambakberas. Saat itu, Kiai Anshori duduk di kelas 1 Muallimin.
Menurut kesaksian Kiai Anshori, Gus Dur saat mengajar dikenal sebagai guru yang bisa membuat kelas hidup. Santri yang ikut kelas Gus Dur terlihat antusias dan aktif.
Inilah kisah Gus Dur muda, dimana pada usia sekitar 23 tahun guru bangsa ini sudah menjadi seorang kepala madrasah.(*)