Groupthink meracuni ide. Ketika "gelembung" pemikiran homogen mendominasi, ruang untuk ide-ide kreatif dan inovatif menjadi sempit. Rasa takut akan penolakan dan kritik menghalangi para pemikir kritis untuk menyuarakan gagasan baru mereka. Hal ini menghambat kemajuan bangsa dan meredam potensi inovasi yang dapat membawa perubahan positif.
BACA JUGA:Dinas Pendidikan Seluma Siapkan 3.540 Blangko Ijazah Sekolah Dasar
- Terkikisnya kepercayaan publik
Groupthink dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Ketika publik melihat bahwa pengambilan keputusan di DPR RI didominasi oleh groupthink, mereka akan meragukan kredibilitas dan transparansi proses tersebut. Hal ini dapat memicu kekecewaan dan apatisme masyarakat terhadap demokrasi.
BACA JUGA:Pendaftaran Ditutup, Partai Perindo Rejang Lebong Kantongi 7 Kandidat Balon Bupati
Salah satu contoh paling terkenal dari groupthink dalam politik yaitu skandal Watergate pada tahun 1970-an. Keinginan Presiden Richard Nixon dan para stafnya untuk menutupi skandal Watergate membuat mereka terjebak dalam "gelembung" pemikiran homogen dan mengabaikan bukti-bukti yang menunjukkan kesalahannya.
Hal ini pada akhirnya berujung pada pemakzulan Nixon. Pada contoh ini sudah jelas jika groupthink bagaikan sebuah virus yang sangat membahayakan pola pikir seseorang dalam menyampaikan sesuatu atau mengambil sebuah keputusan.
BACA JUGA:Pengaruh Komunikasi Kelompok terhadap Gaya Hidup Hedonisme pada Mahasiswa Perguruan Tinggi
Groupthink bukan hanya bahaya bagi RUU KIP, tetapi juga bagi demokrasi dan masa depan inovasi Indonesia. Kita harus melawan groupthink dengan berani menyuarakan pendapat kritis, mendorong pemikiran kreatif, dan menuntut transparansi dalam proses pengambilan keputusan. (*)
Artikel ini ditulis oleh Alya Mutia Dewi D1C021005, mahasiswa S1 Jurnalistik Universitas Bengkulu.