BENGKULU, BETVNEWS - Kawan-kawan, Benteng Marlborough berdiri di tepi Samudra Hindia, memunggungi dan sesekali mengintip gelombang yang menerus datang tanpa henti. Kita tahu, dimanapun ombakmu dan ombakku tidak pernah berhenti. Ombak di halaman rumah kita hanya berganti bentuk: ada riaknya, ada pasang, badai, lalu kembali tenang.
Kawan-kawan di Bengkulu lebih tahu, bahwa dari laut itulah dulu kapal-kapal Inggris datang membawa meriam, bendera, dan peta dagang. Batu-batu benteng kemudian disusun dengan tangan orang kita, tapi nama bentengnya justru diambil dari seorang jenderal asing yang tidak pernah tahu panas teriknya matahari di Tapak Padri ini.
BACA JUGA:Inflasi Bengkulu September 2025 Capai 0,97 Persen, Tertinggi Kedua Nasional, Ini Penyumbangnya
BACA JUGA:Terinspirasi Karya Bung Karno, Panggung Bangsawan Bengkulu Siap Tampil 12 Oktober Mendatang
Maka jelas sejak awal, benteng ini bukan tentang kita. Benteng ini cuma tanda seru dari sejarah orang lain yang ditancapkan ke tubuh Bengkulu. Kini, setelah kemerdekaan, setelah sekian kali renovasi dan revitalisasi, ia kembali diserahkan pada kita, khususnya kawan-kawan di Bengkulu sekalian.
Kawan-kawan, kita diwarisi tubuh yang bukan kita, lalu diminta menghidupkannya. Batu-batu, pagar, dan sebuah tubuh asing yang telah dipugar dan dipoles cat baru, diberi papan informasi. Sekarang sedang dijadikan panggung festival. Pertanyaan kritisnya: apakah kita cukup puas menyebut semua ini milik kita, atau berani menjadikannya suara kita? Apa kita hanya memotret, dan tak mengacuhkan ia berbicara tentang luka kolektif yang pernah ditimbunnya?
BACA JUGA:Gubernur Helmi Hasan Terbitkan SE GPM Religius, Beras 5 Kg Dijual Rp 20 Ribu di Rumah Ibadah
BACA JUGA:Shopee Resmi Gelar Kompetisi 'Shopee Jagoan UMKM Naik Kelas', Hadiah Rp1 Miliar Diperebutkan
Langkah Pertama, Narasi dan Negosiasi
Kawan-kawan, Festival Serempak adalah aktivasi. Langkah pertama pasca revitalisasi. Sebuah perayaan yang bisa disebut kembalinya benteng ke ruang publik. Tapi sebuah festival budaya di Indonesia raya ini, seperti kawan-kawan sudah tahu, tidak pernah bebas dari kompromi. Ia berada di antara persimpangan impian ideal tentang komunitas sebagai pusat atau sistem operasi, dengan realitas praktis, bahwa publik datang karena nama-nama besar dari industri hiburan nasional. Tanpa nama besar, publik kito ndak nio datang. Komunitas lokal, betapapun gigih (apalagi kalau tidak serempak, ya), dianggap belum cukup sebagai magnet. Maka nama besar pun diundang, panggung besar dipasang, lampu-lampu dibuat gemerlap. Orang pun datang. Kemudian pertanyaan berulang lainnya: apakah orang-orang pulang dengan sekadar selfie di dinding kolonial, atau pulang dengan pengalaman baru tentang Bengkulu dan warisan budayanya?
Sebuah festival budaya adalah negosiasi. Nah, negosiasi ini tidak pernah manis, Kawan! Justru di sinilah strategi diperlukan. Nama besar boleh kita hadirkan, tapi jangan jadi pusat. Mereka harus menjadi pintu masuk. Pintu menuju subtansi festival yang sesungguhnya, yaitu segerobak pengetahuan tradisional yang diwariskan, gamad yang terdengar lirih, dol antraktif, pendap yang pedas, Marhaban Buai Anak serta bahasa yang berlapis, dll. Kalau tidak, festival budaya hanya jadi pesta pinjaman.
BACA JUGA:PLN Indonesia Power Ajak Mahasiswa Unib Dorong Transisi Energi Hijau
Sejarah resmi suka rapi sekali. Misalnya, kalau bicara Marlborough, selalu saja soal tahun 1714, East India Company, dan penghormatan nama benteng bagi John Churchill. Tetapi memori kolektif masyarakat kita selalu lebih riuh, apa adanya, dan lebih berantakan. Kita punya cerita orang Bengkulu yang dipaksa kerja rodi, punya cerita perempuan-perempuan yang dulunya menanak nasi di dapur benteng. Bertahun-tahun, ada banyak cerita anak-anak yang bermain di bawah Meriam dan pintu-pintu benteng. Itu semua tak ada dalam catatan resmi atau papan informasi. Sementara kita tahu, cerita-cerita itulah yang membuat sejarah berdenyut.
Dalam konteks narasi kebudayaan, sejarah tak resmi ini yang seharusnya menjadi nadi festival. Cerita yang tidak cuma kronologi, tapi pengalaman. Narasi Marlborough justru hidup jika memberi ruang pada kisah dan dokumentasi keluarga di sekitar benteng, pada sastra lisan, dan pada pengetahuan tradisional dari dapur-dapur yang beraroma lada. Benteng ini kemudian jadi tubuh kolektif yang bisa kita rasakan. Tak sebatas jadi bangunan saja.