BETVNEWS - Banjir dan tanah longsor yang akhir- akhir ini terus berulang terjadi di berbagai wilayah Sumatera bukan hanya sekadar peristiwa alam, melainkan cermin dari krisis ekologis dan sosial yang lebih dalam.
Dalam perspektif Islam, bencana lingkungan tidak dapat dilepaskan dari cara manusia memperlakukan alam. Di sinilah ekoteologi Islam menawarkan kerangka etis untuk membaca realitas bencana secara lebih utuh.
BACA JUGA:H-3 Penutupan Pelunasan Tahap I, 76 Jemaah Diminta Segera Menyelesaikan Pembayaran
Agama Islam senantiasa memandang manusia sebagai "khalifah fi al-ardh". Status ini bukanlah legitimasi untuk mengeksploitasi alam, melainkan amanah untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan ciptaan. Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu diciptakan dengan mizan (keseimbangan), dan manusia dilarang merusaknya.
Dalam konteks Sumatera, kerusakan hutan, alih fungsi lahan yang masif, serta aktivitas ekonomi yang mengabaikan daya dukung lingkungan menunjukkan pengingkaran terhadap amanah tersebut. Ketika sebagian besar hutan dibabat sehingga daerah resapan air hilang, banjir dan longsor menjadi konsekuensi ekologis yang tak terelakkan.
Bencana sebagai Dampak Ketimpangan Sosial-Ekologis
Ekoteologi Islam tidak melihat bencana semata sebagai “hukuman Tuhan”, tetapi sebagai akibat dari rusaknya relasi manusia dengan alam dan sesamanya. Al-Qur’an mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi karena ulah tangan manusia. Ayat tersebut relevan untuk membaca situasi di mana keuntungan ekonomi segelintir pihak dibayar mahal oleh penderitaan masyarakat luas.
BACA JUGA:Refleksi Jama'ah Makassar di Masjid Merah Putih Bengkulu
Korban utama banjir dan longsor di Sumatera umumnya adalah masyarakat kelas menengah kebawah, petani kecil, dan komunitas adat. Mereka tinggal di wilayah rentan, kehilangan rumah dan mata pencaharian, serta minim perlindungan.
Dalam perspektif keadilan sosial Islam, kondisi ini merupakan bentuk kezaliman struktural yang bertentangan dengan prinsip ‘adl (keadilan) dan maslahah (kemaslahatan umum).
Agama Islam tidak memisahkan ibadah ritual dari tanggung jawab sosial dan ekologis. Menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah, karena berkaitan langsung dengan perlindungan kehidupan (hifz al-nafs) dan kelangsungan generasi (hifz al-nasl). Bahkan, merusak alam berarti merusak sumber kehidupan umat manusia sendiri.
BACA JUGA:Satpam Kejari Kepahiang Gagalkan Aksi Begal di Komplek Perkantoran
Dalam tradisi Islam, menanam pohon, menjaga air, dan tidak berlebih-lebihan (israf) dipandang sebagai amal kebajikan. Jika prinsip-prinsip ini dijadikan landasan dalam kebijakan pembangunan dan perilaku sehari-hari, maka risiko bencana ekologis dapat ditekan secara signifikan.
Sehingga disini peran agama dan umat dalam krisis lingkungan sebagai wilayah dengan tingkat heterogenitas yang cukup beragam, Sumatera memiliki potensi besar untuk menggerakkan kesadaran ekologis berbasis agama.
Selanjutnya peran Masjid, pesantren, dan organisasi keagamaan dapat dimaksimalkan menjadi pusat edukasi lingkungan. Dakwah dan khutbah Jumat tidak hanya berbicara soal ibadah personal, tetapi juga tanggung jawab kolektif dalam menjaga bumi (Nasaruddin Umar, 2024).