Pangeran Ali dari Camat Perang sampai Bon Perang
Pangeran Ali dari Camat Perang sampai Bon Perang--(Sumber Foto: Tim/BETV)
"Dua organisasi besar Islam ini sama-sama membawa semangat kebangsaan yang tujuannya untuk menuju kemerdekaan lepas dari belenggu penjajahan", tambah Dosen Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu ini.
Di Kota Bengkulu sendiri sejak tahun 1928 beberapa Demang, Pangeran dan Pesirah yang berada diwilayah Keresidenan Bengkulu sudah menginisiasi pendirian Vereeniging Semarak Benkoeloe (Yayasan Semarak Bengkulu) yang fokus dibidang pendidikan untuk anak pribumi.
Sampai sekarang Yayasan tersebut tetap eksis salah-satunya membawahi Universitas Hazairin Bengkulu. (lihat: Sejarah Yayasan Semarak Bengkulu, hal : 47-51, Panitia Penyusunan Sejarah Yayasan Semarak Bengkulu, 2016).
Hal itu menunjukkan betapa besarnya semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Sebagai jalan menuju Kemerdekaan.
Sebenarnya aktifitas Pangeran Ali yang diam-diam mengobarkan semangat kebangsaan terus dipantau PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau Dinas Intelijen Politik tapi Belanda tak dapat menutup mata bahwa dibawah pemerintahan Pangeran Ali banyak kemajuan di wilayah Marga Ketahun.
Maka Residen Bengkulu melalui besluit nomor 431 tanggal 18 November 1937 memandang layak untuk mengangkat Pesirah Ali sebagai Pangeran Marga Ketahun.
Bayi merah yang 41 tahun sebelumnya pernah jatuh ke laut kini menjelma menjadi pemimpin tertinggi sebuah marga besar dan berhak memegang tongkat kepala emas yang semula tongkatnya saat jadi Pesirah hanya berkepala perak.
DIPLOMASI BIR.
Tahun 1939 pemerintahan Pangeran Ali mengalami ujian berat karena Marga Suku IX Muara Aman Lebong yang dipimpin Pangeran Zainul Abidin menggugat sebagian wilayah Marga Ketahun khususnya wilayah yang terdapat tambang emas seperti Lebong Tandai dan sekitarnya.
Pangeran Ali segera melakukan rapat darurat di kantor Marga seluruh Depati (Kepala Desa) dan tokoh masyarakat diundang dan diminta pendapatnya.
"Seujung jari kita tak akan mundur, bila perlu perang, orang kita berani menikam Residen Amstel dan Controleur Casten di sungai Bintunan untuk membela kehormatan", ujar Terusin yang bergelar Napal Licin.
Sekalipun usianya waktu itu belum 25 tahun tapi dia salah satu orang yang tidak mau membungkuk jika bertemu dengan orang Belanda. Seketika peserta rapat bertepuk tangan, bersorak gembira. (Tentang peristiwa Bintunan ini, baca : Agus Setiyanto, Gerakan Sosial Masyarakat Bengkulu Abad XIX, hal: 97, Penerbit Ombak, 2015).
Kembali ke sosok Terusin, dialah yang memamerkan kesaktiannya dengan permainan lesung melayang diudara tanpa tali ketika pesta pernikahan Pangeran Ali dengan Siti Walimah.
Setelah suasana rapat kembali tenang, tibalah gilirannya Pangeran Ali memberikan pendapatnya.
"Kita bukan mau perang fisik, sebab marga suku IX Muara Aman adalah saudara kita sebangsa setanah air, apalagi masyarakat di Marga Ketahun khususnya Napal Putih sebagian asal usulnya berasal dari suku Rejang Marga Bermani yang berada di belakang Bukit Daun Curup. Kita ingin menyelesaikan masalah ini dengan strategi dan taktik serta dengan hati dan kepala dingin", ujar Pangeran Ali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: