Komunitas Adat Seluma Gelar Ritual Pemberian Hukuman di Depan Kantor PTPN VII Bengkulu

Belasan warga komunitas adat dari Serawai Semidang Sakti yang ada di Desa Pering Baru Kabupaten Seluma menggelar ritual adat di depan kantor PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII perwakilan Bengkulu, Senin, 17 Maret 2025.--(Sumber Foto: Ilham/BETV)
Karena itu, bagi Nahadin, tak ada alasan bagi perusahaan untuk menuduh mereka telah menduduki atau menguasai HGU perusahaan. "Jangan pernah tuduh kami maling. Mereka yang sebenarnya merampas tanah dan wilayah masyarakat adat Serawai," katanya.
Sejalan dengan aksi ritual itu, Perwakilan masyarakat adat Serawai yang mendatangi kantor PTPN VII di Kota Bengkulu juga mendesak agar penegak hukum membebaskan seorang pelajar SMKN 3 Seluma yang bernama Anton dan kakaknya Kayun dari tuduhan telah mencuri sawit milik PT PN VII.
"Apa yang dicuri. Kalau pohonnya tumbuh di atas tanah kami sendiri. Ini jahat sekali. Apalagi kalau sampai diputuskan bahwa anak-anak kami mencuri di tanah neneknya sendiri," kata ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Serawai, Zemi Sipantri.
BACA JUGA:Oknum PPPK Seluma Terdakwa Begal Payudara Jalani Sidang Tuntutan pada 18 Maret
Menurut Zemi, tudingan yang telah dibuat oleh PT PN VII, merupakan bentuk kriminalisasi sekaligus intimidasi agar masyarakat adat Serawai yang bertahan di wilayah adatnya untuk tidak lagi menjaga tanah mereka.
Padahal, lanjutnya, sudah sejak tahun 1987. Ribuan hektar tanah di Seluma, sudah diberikan negara kepada perusahaan. Tanpa proses persetujuan kepada masyarakat adat yang sudah jauh lebih dahulu mendiami tanah-tanah itu.
"Nenek-nenek kami diusir. Dan kini, kami para cucunya yang mengurus tanah leluhur kami malah dibilang penjahat. Kami mendesak gubernur atau presiden tolong perhatikan nasib kami," katanya.
BACA JUGA:Walikota Bengkulu: PTT di 2026 Harus Gunakan Pihak Ketiga
Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu Fahmi Arisandi menambahkan, situasi yang terjadi di Pering Baru telah menjadi konflik laten yang kerap berulang. Musababnya, tidak ada iktikad baik dari pemerintah untuk membantu menyelesaikannya.
Dan kondisi ini, diyakininya, bukan hanya terjadi di Seluma. Namun bisa jadi serupa di beberapa daerah lain. Ketidakpedulian pemerintah terhadap keberadaan masyarakat adat asli akan memicu konflik berkepanjangan.
"Seluma ini sudah punya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, harusnya ini bisa jadi instrumen penyelesaian. Jangan cuma diam. Perusahaan juga harus hormati. Kalau tidak, ini akan ribut terus sepanjang waktu," kata Fahmi.
BACA JUGA:Pemkot Bengkulu Tekankan Sekolah Wajib Perkuat Pendalaman Ilmu Agama Saat Ramadan
Dari itu, Fahmi mengingatkan kepada penegak hukum dan para pengambil kebijakan di Kabupaten Seluma dan Provinsi Bengkulu untuk berpegang pada ketentuan yang sudah dirumuskan utamanya berkaitan dengan keberadaan masyarakat adat.
"Mengapa sampai ada ritual itu. Ya karena itulah bentuk hukum di masyarakat adat. Mereka tak mengenal Bui. Jadi kalau sampai ada yang dihukum dengan penjara. Saya pikir negara ini keterlaluan," ujarnya.
(Ilham)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: