Alasan di Balik Badan Publik dalam RUU KIP Sebagai Kasus Groupthink
Ilustrasi groupthink.--(Sumber Foto: Siti)
BETVNEWS - Dalam konteks RUU KIP (Undang-Undang Kepentingan Informasi Publik), fenomena groupthink berpengaruh besar terhadap proses keputusan dalam badan publik.
Groupthink, sebagai kejadian dalam teori komunikasi politik, terutama dalam grup legislatif seperti DPR RI, dapat menyebabkan keputusan kontroversial dan tidak popular, meskipun anggota-anggota grup itu beragam.
Groupthink adalah konsep yang berasal dari teori keputusan dalam grup yang kohesif, yang mengakibatkan grup untuk mem prioritaskan konsensus dan harmoni di atas pengkritikan alternatif pandangan.
BACA JUGA:Menyatu Lewat Komunikasi Kelompok: Fondasi Keberhasilan Bersama
Dalam konteks RUU KIP, groupthink dapat muncul karena faktor-faktor seperti keterlambatan waktu, kelelahan, dan konflik kepentingan dengan grup eksekutif.
Tekanan-tekanan tersebut dapat memaksa grup legislatif untuk melakukan keputusan yang mungkin tidak optimal atau realistis.
Konsep groupthink, seperti yang dijelaskan oleh Irving Janis, mengacu pada fenomena psikologis di mana sekelompok individu, meskipun memiliki latar belakang dan perspektif yang beragam, dapat secara kolektif membuat keputusan yang tidak rasional karena keinginan bersama untuk mencapai konsensus dan rasa takut dikucilkan.
BACA JUGA:Mengenal Sejarah dan Perkembangan Teori Groupthink
Fenomena ini dapat terjadi dalam berbagai konteks, termasuk proses pengambilan keputusan politik, yang dapat berujung pada pengambilan kebijakan yang tidak memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat.
Dalam konteks DPR Indonesia, groupthink diidentifikasi sebagai faktor potensial yang berkontribusi terhadap pengambilan keputusan kontroversial, khususnya dalam proses legislasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP).
BACA JUGA:Mengungkap Rahasia Kepemimpinan yang Efektif
Studi mengenai groupthink dalam konteks ini menyoroti pentingnya memahami dinamika komunikasi politik dalam badan legislatif, khususnya di negara-negara dengan latar belakang politik yang beragam dan sejarah keputusan yang kontroversial.
Artikel ini ditulis oleh Siti Munawaroh D1C021001, mahasiswa S1 Jurnalistik Universitas Bengkulu. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: